Monthly Archives: April 2013

The Example of Deductive Paragraph

Standard

There are some ways for students to earn money. First, they work in some place. We can manage the time for it. For example, we get home from school on 1 pm, and on 2 pm until 4 pm we are working in some places. So, although we are working in some places, we can also doing homework. Second, we make some efforts like businessman. We can sell something like food, drinks, book, and many more. Finally, teach someone who younger than us such as pre-school students, kindergarten students, senior high school students, and many more.

Semangkuk Surti Tedjo

Standard

HOAAAANYM masih ngantuk!” jawabku saat adzan subuh berkumandang. Namaku Surti. Aku adalah anak dari pasangan Susilo dan Markonah. Aku terbilang paling sulit untuk dibangunkan pada waktu subuh. Aku adalah anak ke 7 dari 10 bersaudara, dan kata orang lain sih aku ini memiliki sifat yang cenderung aneh dibanding kakak dan adikku. Sebenarnya, orang tuaku sangat disiplin akan hal agama dan pendidikan. Tapi entah mengapa, semua itu terasa tak ada gunanya bagi diriku. Aku bingung dengan ajaran-ajaran agama yang selama ini aku pelajari di Sekolah. Walaupun orang tuaku adalah pemilik Pesanten terbesar dan ternama di kotaku, tapi aku benar-benar tidak peduli akan semua itu. Aku lebih memilih untuk bersenang-senang di kamar, berkumpul bersama teman-teman, mainan laptop, pokoknya hal-hal yang menurutku asik. Kakak-kakakku sering memarahiku karena aku sering melakukan hal yang menurut mereka tidak penting. Aku sungguh kesal jika mereka berkata “Ngerjain hal yang penting kek! Kamu mau, laptopmu aku buang? Kamu gak inget kalo kematian tuh selalu ada di samping kita?!”. Argggh! Bener-bener kesel deh pokonya kalau mereka bilang kaya gitu. Mereka bilang semua yang aku lakukan ini gaada gunanya? Kata siapa! Mereka gak mikir kalau dengan games, dan internet tuh bisa nambahin wawasan dan kepintaran otak juga. Dasar orang-orang katro!  Adanya Al-Qur’an aja mulu yang dipegang.

Hari ini hari Senin. Seperti biasa, aku pergi ke Sekolah dengan sepeda berwarna pink kesayanganku. Tanpa sepeda ini, hidupku bagai sayur tanpa garam.  Seperti biasanya pula, aku datang 1 jam setelah bel masuk berbunyi. Huh, entah mengapa, betapa sulitnya masuk sekolah dengan in time dan on time. Selalu saja seperti ini. Pak satpam Sekolah saja sampai hafal dengan namaku, alamat rumahku, nama orang tuaku, dan semua kakak-kakakku. Mungkin beliau hafal karena Kepala Sekolah sering memanggil orang tuaku  untuk datang ke Sekolah, dan Kepala Sekolah pun sering pergi beserta awak-awaknya ke rumaku. Yah..biasa.. karena kenakalanku. Tapi aku tetap bangga pada diriku sendiri. Mengapa demikian? Aku berpikir bahwa aku nakal seperti ini saja, pihak Sekolah masih memberi perhatian yang lebih kepadaku. Begitupun orang tua dan keluargaku. Berarti, mereka masih peduli denganku. Aaah.. selagi mereka masih peduli, aku akan tetap bertindak seperti layaknya diriku sendiri. Aku tak ingin menjadi orang lain. Jadi diri sendiri aja ribet, apalagi jadi orang lain.

Di kelas, banyak sekali orang yang membenciku, dan banyak pula yang sangat care denganku. Aku juga punya pacar seperti layaknya anak gadis pada umumnya. Nama pacarku Tejo. Tejo itu anak kampung sebelah. Aku berkenalan dengan Tejo saat Ia sedang berjualan kripik udang didekat pasar. Saat aku pulang Sekolah, tidak sengaja aku melihat pria seumuranku sedang berjualan kripik udang di dekat pasar. Aku merasa aneh, karena biasanya yang berjualan kripik udang di dekat pasar adalah pria paruh baya yang berkulit sawo matang mengkilat. Hahaha dari situlah aku mulai melirik Tejo. Ternyata, Tejo pun merasakan hal yang sama denganku. Akhirnya, aku iseng membeli kerupuk udang yang sedang Tejo jual. Dari situlah kisah percintaan kami dimulai.

Aku dan Tejo berbincang-bincang hingga lupa waktu. Dari perbincanagn itu, aku akhirnya tahu bahwa Tejo sudah 5 tahun putus Sekolah. Seharusnya, Ia sudah kelas 2 SMA sama seperti diriku. Tetapi karena keterbatasan dana dan kondisi orang tua Tejo yang sering sakit-sakitan, Ia akhirnya merelakan untuk Sekolah sampai bangku Sekolah Dasar saja. Perbincangan itu berlanjut sampai larut malam. Sungguh tak ada rasa khawatir jikalau orang tua mencariku. Aku fikir, pasti mereka sedang sibuk mengurus urusan Pesantren yang sedang membuka pendaftaran santri baru.

“Mampir ke rumahku yuk!” ,tanya Tejo. “Boleh..” jawabku dengan senang hati. Aku menaiki sepedaku, sementara Tejo memikul wadah yang berisikan kerupuk udang sisa penjualan hari ini. Dijalan, kami membicarakan banyak hal. Aku sangat kaget ketika tiba di rumah Tejo dan melihat rumah Tejo yang sangat kecil. Ukurannya mungin sekecil kamar mandi didalam kamarku. Aku sangat sangat beruntung punya pacar seperti Tejo yang dengan gigihnya mau berusaha keras demi menghidupi keluarganya. “Yuk masuk!” “Oke!” jawabku. Ketika aku masuk kedalam rumah, ayah dan adik Tejo sedang menghitung uang yang sepertinya mereka keluarkan dari bekas botol air mineral yang sudah dibelah sebagian. Botol itu ada persis disebelah tumpukan uang yang sedang mereka hitung jumlahnya. Perbincangan kami semakin hangat ketika ayah dan adik Tejo ikut berbincang bersama.

Tiba-tiba, ada pria yang sedang tidur disebelahku. Ya ampun! Aku tak sadar bahwa perbincangan tadi berlarut sampai pada akhirnya aku tertidur pulas. Aku duduk seraya melihat siapakah orang yang ada disebelahku. Aku amati dia. Ya Tuhan! Ternyata dia bukan Tejo, ayahnya ataupun adiknya Tejo! Lama-lama aku merasa takut. Aku mencari dimanakah Tejo berada. Aku melihat ke kiri dan ke kanan, tapi tak ada siapa-siapa. Hanya ada aku dan pria yang akupun tak tahu siapakah dia. Di kiri dan kananku yang ada hanyalah tembok yang kotor karena banyak coretan pilox. Aku ingin lari, tapi aku tak bisa. Seolah-olah ada sesuatu yang menarikku dan  berkata “Udah..diem disini aja!”. Aku bingung harus bagaimana. Benar-benar bingung. Aku ingin berteriak, tapi disisi lain akupun takut. Aku merasa aku sedang berada di kandang singa yang sangat buas, dan singa itu tak lama lagi akan menerkamku. Sontak saja aku teringat dengan ayah ibu, beseta kakak dan adikku. Aku berharap mereka bisa menjemputku detik ini juga. Aku sungguh-sungguh membutukan ayah. Aku ingin ayah menghajar orang yang ada disebelahku ini. Aku tak tahu hal apa saja yang telah Ia lakukan selama aku tidur. Tak lama kemudian, orang yang ada disebelahku ini membuka matanya. Ia terbangun! Sepertinya ia terbangun karena mendengar kegelisahan dan tangisan kecilku. Ia menoleh kearahku. “Tenang..Aku nggak habis ngapa-ngapain kamu kok!”, jawab orang itu. “Aku hanya ingin berkenalan lebih dekat dengan gadis seperti dirimu. Kau pasti tahu siapa aku, kan?”. Hatiku makin gelisah mendengar ucapan yang terlontar dari mulut lelaki itu. Aku ingat! Ya aku ingat! Dia kan santri Pesantren orang tuaku! Tapi aku sungguh tak percaya! Sepertinya bukan dia! Tapi sepertinya benar! Astaga aku ingin keluar dari kebingungan ini. “Ya benar! Aku santri Pesantren milik ayahmu”. Oh Tuhan! Mengapa dia mengerti semua ucapan yang aku lontarkan dari dalam hatiku? Apakah dia paranormal? Ataukah punya indra ke enam? “Kamu itu Udin yang dulu pernah dikeluarkan dari Pesantren gara-gara dituduh mencuri gelang milik santriwati kan?” “Ya benar” “Lantas, mengapa sekarang kau ada disampingku?” sambil bergetar ketakutan. “Aku gak punya rumah. Sehari-harinya aku tidur di jalan-jalan, masjid-masjid dan tempat-tempat kosong seperti ini. Tadi waktu aku sedang mencari tempat untuk tidur malam ini, aku melihat ada tempat kosong dan didalamnya ada seorang wanita. Ternyata wanita itu adalah kau. Sudah tenang saja! Anggap saja aku adalah kakakmu. Kaukan lebih mengenalku, dibanding Tejo si penjual kerupuk udang itu,kan?” “Mengapa kau tahu aku kenal dengan Tejo?” “Jujur aja ya. Tadi aku mengikutimu. Kau jangan percaya dengan Tejo si penjual kerupuk udang itu! Kau jangan bergaul dengan orang itu! Dia sering memperkosa wanita! Dia sering memperkosa wanita yang baru dia kenal! Kau mau menjadi korban Tejo berikutnya, hah?!”. Aku benar-benar terkejut mendengar perkataan yang di ucapkan Udin. “ENGGAK! AKU NGGAK MAU!” jawabku sambil sedikit menjerit dan ketakutan. “Tidur lagi aja. Lagipula ini udah larut malam. Besok kamu harus Sekolah!” “Iya deh iya. Kamu tunggu diluar dan jangan tidur disebelahku lagi ya!” “Iya” Ia menjawab dengan wajah sedikit tersenyum meremehkan. Udin pergi keluar rumah kecil itu, dan aku melanjutkan tidurku malam ini. Tidurku kali ini sungguh tak nyaman. Hatiku benar-benar tidak enak. Tapi aku tetap harus tidur malam ini.

Matahari mulai memancarkan sinarnya. Aku membuka mataku karena terganggu pancaran sinar matahari yang memancar persis kearah wajahku. Ternyata sudah pagi. Badanku benar-benar sakit semua karena tadi malam aku harus tidur di lantai yang cukup dingin. Aku teringat akan wajah Udin yang semalam sedikit mengobrol denganku. Aku menengok kearah kiri dan kanan. Aku terkejut. Udin sudah ada disebelahku lagi. Kali ini aku benar-benar terkejut dan lebih terkejut dibanding tadi malam. Aku terkejut karena melihat Udin tidur dengan telanjang dada. Dia tidur dengan tidak memakai bajunya dan hanya memakai celana kusutnya. Aku ingin menangis. Aku langsung berprasangka buruk pada Udin. Ya Tuhan.. Apa yang telah Udin lakukan padaku semalam selama aku tidur. Aku berteriak minta tolong pada orang yang ada diluar. Usahaku sepertinya sia-sia karena tak ada satupun yang mendengar teriakanku. Udin terbangun dari tidurnya.  “Aku lupa ga bilang satu hal sama kamu, semalem”. Aku hanya bisa menangis dan menangis. “Semenjak aku dikeluarin dari Pesantren gara-gara tuduhan waktu itu, hidupku benar-benar kelabu. Karena cemoohan orang lain dan karena mereka sering memanggilku pencuri, hasratku untuk mencuri jadi timbul. Aku bisa makan, dan memenuhi kebutuhan hidupku setiap hari dengan mencuri dan mencuri. Tak ada hari tanpa mencuri. Hahaha aku baru menyadari kalo mencuri itu asyik. Dan semalam…” “SEMALAM APA!” tanyaku sambil menangis tersedu-sedu. “ Semalam aku gak mencuri. Tapi maaf ya” “MAAF APA?!”, tangisanku menjadi-jadi. “Tidurmu begitu nyenyak. Aku mencicipimu tadi malam”, jawab Udin sambil sedikit tertawa. Aku menangis seperti layaknya anak bayi yang sedang mencari-cari ibunya. Hatiku benar-benar hancur mendengar pengakuan Udin yang ternyata Ia bukanlah Udin yang aku kira. “Sebenarnya Tejo, ayahnya dan adiknya aku usir semalam. Mereka itu pengganggu!”. “Dasar setan! Keparat!”, aku meninggalkan rumah kecil itu dan mengayuh sepedaku dengan sangat kencang.  Aku tak berfikir untuk pergi ke Sekolah, aku tak berfikir untuk dimarahi ayah dan ibu, yang ada difikiranku sekarang adalah pergi ke rumah dan mengurung diri di kamar.

Setelah kejadian itu, hidupku menjadi seperti ini. Tak ada yang tahu akan hal yang pernah terjadi pada aku dan Udin. Aku tak pernah melihat sosok Tejo didekat rel kereta lagi. Aku tak pernah melihat Tejo bahkan tak ingin. Jika aku melihatnya, semua hal yang pahit itu akan masuk lagi kedalam pikiranku. Aku malah semakin malas untuk beribadah, mendengarkan apa kata orang tua, dan melakukan hal-hal yang menurut orang lain positif. Aku berfikir bahwa Tuhan tak akan mau memaafkanku sampai kapanpun.

The Example of Deductive Inductive Paragraph Part 1

Standard

Julaeha has a favorite day during a week. The day is Tuesday. She like Tuesday because she was born on the day, the first time she has a special boy friend and she thinks that Tuesday is a beautiful day. There are many activities that she does on Tuesday. First, in the morning she usually goes to campus to get lecture until 12.00 p.m. Second, after get home, she helps her mother to cleaning the room. When she feel tired, she usually takes a bath. After she feels fresh, she has lunch with her family. She loves her mother’s cook. She thinks that her mother’s cook is the most delicious one in the world. After that, she takes a nap in her bedroom. Occasionally she takes a nap until sleep. Third, when adzan of maghrib heard, and after she finishes to pray, she teaches children in the mosque. She teaches them how to read Al-Qur’an. After that, she is doing homework while watching television in her house. Finally, she sleeps at night. Those are the activities that Julaeha do on Tuesday that makes her feel amazing on that day. 

The Example of Deductive Inductive Paragraph Part 2

Standard

There are three dangerous effects of volcanic mountain. First, the cold lava can destroy terrain. When the cold lava across the garden, it can damage the garden. The plant can died and putrefied. Second, the volcanic dust that turn out of the volcanic mountain can disturb a flight. The volcanic dust can pierce layer cloud. There are many delayed flights and it impacts the economical flight. Finally, the poisonous of gas makes the disease carrier such as lung disease, ISPA, asthma, sore throat, heap of phlegm, and killing somebody who lives there. In conclusion, the volcanic mountain is quite apprehensive for life.